SUKA duka dalam mengarungi rumah tangga selama lima
tahun atau lebih tentu lebih
"semarak", bukan? Apalagi
umumnya dalam rentang lima
tahun, Moms and Dads sudah
memiliki satu atau dua orang buah hati. Meski ada yang mengatakan
usia rawan pernikahan itu di
bawah lima tahun, belum tentu
segalanya aman, tenteram,
sentosa jika berhasil melewati
lima tahun tersebut. Menurut Dr Adriana S.
Ginanjar, M.S, Staf Pengajar
Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia, ada sederet masalah
yang kerap terjadi dalam lima
tahun masa pernikahan, antara lain masalah
penyesuaian dan kecocokan
satu sama lain, bertambahnya
tuntutan peran (misal sebagai
istri-ibu-wanita yang bekerja),
adanya budaya di Indonesia yang mengikutsertakan
keluarga besar (metua, adik
atau kakak ipar dan lainnya),
perbedaan adat istiadat,
harapan keuangan dan
pengelolaannya, perbedaan harapan yang kurang
dikomunikasikan sejak awal
pernikahan. Pentingnya kerja sama Harus diakui, pada awal lima
tahun pernikahan akan
ditemukan beragam masalah
yang berasal dari dalam
keluarga. Ini wajar. Karena terkadang
apa yang diharapkan pada
awal pernikahan seperti
setelah bulan madu akan
harmonis, mempunyai keluarga
kecil bahagia, minim konflik, dan lainnya tak seindah
kenyataan. Untuk itu,
dibutuhkan kerja sama dan
saling mendukung agar dapat
bertahan. Hindari topik sensitif
dengan nada negatif Berbeda pendapat dengan
pasangan itu lumrah, tinggal
bagaimana Anda menyikapinya.
Cobalah memahami perbedaan
laki-laki dan perempuan, mulai
dari pola pikir, arti uang bagi suami/istri, makna hubungan
intim dan sebagainya. Interpretasi Moms and Dads
perlu disamakan agar tidak
terjadi kesalahpahaman.
Bijaklah dalam menghadapi
topik-topik sensitif dalam
rumah tangga. Misal suami dan istri memiliki perbedaan
pendapatan yang besar,
hindari mengulas uang! Selain itu, topik sensitif lainnya
ialah keluarga besar, hubungan
intim, peran istri yang sudah
keibuan alias lebih fokus pada
anak. Jadi, penting bagi Anda berlaku
sebagai pendengar yang baik
tanpa mencela pasangan, agar
ia merasa dibutuhkan serta
dihargai. Hadapi, realistis dan
toleran Saat masih lajang, tak sedikit
wanita yang memiliki 'impian'
pernikahan yang indah bak
cerita dongeng atau
perjalanan rumah tangga
semulus batu pualam. Hmmm, tentu bukan hal bijak untuk
dipercayai ya! Selain menyatukan semua yang
berbeda menjadi kesatuan,
pernikahan -menurut budaya
di Indonesia- juga menyatukan
dua keluarga besar. Tentu ini
merupakan sebuah tantangan. Jadi, melihat perkawinan
bukanlah satu-satunya sumber
kebahagiaan, mungkin dapat
membuat kita memahami
kenyataan dan siap
menghadapinya. Toh, harmonis bukan berarti
keluarga tanpa pertengkaran
dan tidak harus selalu satu
kata seirama.
Yang terpenting, terimalah
perbedaan dari pasangan Anda dan pahami bahwa memang
ada masalah atau perbedaan
yang tak bisa terselesaikan
dan harus diterima sampai
kapanpun. Inilah bentuk
toleransi terbaik. Lima kiat tetap harmonis: 1. Ungkapkan harapan-
harapan Anda berdua secara
konkret dan terbuka.
Bicarakan dan sesuaikan
dengan perannya masing-
masing. Misal Dads sangat senang jika setiap bangun
tidur disediakan teh manis
hangat dan kudapan manis,
bukan hidangan berat seperti
nasi goreng atau bubur ayam. 2. Setiap pasangan bisa
berubah. Jadi, selalu luangkan
waktu untuk mengenal
pasangan dan mengetahui apa
yang saja berubah. Misal, dua
tahun lalu sang istri masih sering khawatir soal keuangan
namun tahun ini sudah bisa
mengaturnya lebih baik.
Bangun komunikasi positif dan
mau saling mendengarkan –
bukan berisi kritikan- agar semua masalah dapat
dibicarakan dengan tidak saling
menjatuhkan. 3. Cukup realistis, bukan hanya
menuntut melainkan saling
memberi. Realistis yang
dipahami adalah perkawinan
bukan hanya ada kebahagiaan
namun juga bertemu dengan konflik dan harus diselesaikan.
Diskusikan jika ada yang
diinginkan atau dituntut tapi
jangan lupa memberikan
peluang. Contoh, suami
menginginkan sang istri untuk tidak bekerja setelah menikah,
namun berikan peluang istri
untuk memilih sekolah atau les
si kecil. 4. Perlunya honeymoon kedua,
ketiga dan seterusnya.
Kehadiran si kecil bukan alasan
bagi Moms untuk tidak bisa
melakukan hal berdua saja
dengan Dads. Tak harus keluar negeri atau luar kota,
menikmati sehari bersama
suami dengan menonton film
atau makan makanan favorit
berdua saja sudah cukup. 5. Jika masalah tetap tidak
bisa teratasi meski sudah
banyak yang dilakukan dan
didiskusikan, tak ada salahnya
berkonsultasi dengan psikolog. (Sumber: Mom&Kiddie)
Minggu, 21 Agustus 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar