Mengorek taqdir dengan rasio hanya akan berujung kebingungan dan putus asa. Iman harus menjadi pondasi dasar untuk sepenuhnya menerima taqdir.
Judul ini sengaja saya ambil sehubungan dengan masih banyaknya ummat Islam yang masih bingung dan bahkan keliru dalam menyikapi taqdir. Kebingungan itu tumbuh karena kurangnya wawasan seputar taqdir atau istilah lengkapnya qadha dan qadar.
Melalui tulisan ini, saya coba memberikan sedikit pencerahan seperti apa sih taqdir itu? Betulkah dalam taqdir ada kejam atau tidak kejam? Untuk menjawabnya mari kita telusuri salah satu hadits Rasulllah berikut ini :
Melalui tulisan ini, saya coba memberikan sedikit pencerahan seperti apa sih taqdir itu? Betulkah dalam taqdir ada kejam atau tidak kejam? Untuk menjawabnya mari kita telusuri salah satu hadits Rasulllah berikut ini :
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ - رضى الله عنه - قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « إِنَّ خَلْقَ أَحَدِكُمْ يُجْمَعُ فِى بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا وَأَرْبَعِينَ لَيْلَةً ، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَهُ ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَهُ ، ثُمَّ يُبْعَثُ إِلَيْهِ الْمَلَكُ فَيُؤْذَنُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ ، فَيَكْتُبُ رِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَعَمَلَهُ وَشَقِىٌّ أَمْ سَعِيدٌ ثُمَّ يَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، حَتَّى لاَ يَكُونَ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ إِلاَّ ذِرَاعٌ ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُ النَّارَ ، وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ ، حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ إِلاَّ ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ ، فَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا – رواه البخاري -
Dari Abu 'Abdirrahman Abdullah bin Mas'ud radhiallahu 'anhu, dia berkata : bahwa Rasulullah telah bersabda, "Sesungguhnya tiap-tiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama 40 hari berupa nutfah, kemudian menjadi 'Alaqoh (segumpal darah) selama itu juga lalu menjadi Mudhghoh (segumpal daging) selama itu juga, kemudian diutuslah Malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya lalu diperintahkan untuk menuliskan 4 kata : Rizki, Ajal, Amal dan Celaka/bahagianya. maka demi Alloh yang tiada Tuhan selainnya, ada seseorang diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli surga sehingga tidak ada jarak antara dirinya dan surga kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli neraka dan ia masuk neraka. Ada diantara kalian yang mengerjakan amalan ahli neraka sehingga tidak ada lagi jarak antara dirinya dan neraka kecuali sehasta saja. kemudian ia didahului oleh ketetapan Alloh lalu ia melakukan perbuatan ahli surga dan ia masuk surga. ( Hr. Iman Bukhari )
Ada 2 pokok pembahasan yang dimuat dalam hadits di atas,
pertama masalah proses penciptaan manusia dan kedua uraian mengenai taqdir. Sesuai judul yang kami kemukakan di atas, maka yang akan saya uraikan sedikit disini tentu saja mengenai taqdir. Namun satu hal yang perlu kita sepakati bahwa porsi rasio dalam memahami taqdir sangatlah terbatas. Karenanya, mengorek-ngorek taqdir dengan rasio hanya akan berujung kebingungan dan putus asa. Iman harus menjadi pondasi dasar untuk sepenuhnya menerima taqdir.
Pembahasan taqdir dalam hadits di atas dimulai dari diutusnya malaikat oleh Allah mengiringi ditiupkannya ruh pada seorang manusia dalam Rahim untuk menuliskan empat perkara terkait keberadaan manusia yang akan lahir ke dunia nanti. Ke-4 perkara itu terdiri dari ajal, rizki, amal dan bahagia/celaka.
Rangkaian cerita malaikat dalam hadits ini tentu tidak dapat dideskripsikan dalam kehidupan nyata seperti kita saat ini. Sehingga tulisan itu seolah menjadi gambaran bahwa setiap manusia terlahir dengan identitas resmi yang sudah ditulisi.
Bukankah manusia menjalani hidup di dunia dari detik ke detik dan menit ke menit yang berbeda. Bagaimana malaikat menuliskan itu semua? Karena pada kenyataannya tidak semua detik dan menit yang kita lewati dalam keadaan yang sama.
Untuk itu, cukuplah bagi kita sampai pada kesimpulan bahwa terkait rezeki, ajal, amal dan bahagia/celaka sudah ada ketetapan dari sana. Itulah yang menjadi pengertian dari qadha. Qadha merupakan hal yang ghaib atau rahasia Allah. Seperti apa adanya qadha yang ada pada kita di suatu saat yang kita ketahui itulah yang disebut qadar. Artinya sesuatu yang menimpa sesuai kenyataannya.
Untuk menambah kemudahan, coba kita ilustrasikan sebagai berikut : si A tertulis dalam qadhanya sebagai dokter, dan tentunya si A tidak tahu kalau ia akan menjadi seorang dokter. Setelah melewati proses dan tahapan menjadi dokter, ternyata benar-benar si A menjadi seorang dokter. Sementara si B tertulis di qadhanya sebagai pedagang. Ia tidak tahu kalau perjalanan hidupnya akan menjadi pedagang. Di tengah perjalanan hidupnya ia bercita-cita menjadi dokter dan ia pun menempuh proses dan tahapan menjadi dokter. Tapi dengan sebab yang tidak kuasa untuk dihindari ia gagal menjadi dokter. Setelah waktu berlalu si B malah sukses menjadi pedagang. Si A yang jadi dokter dan si B yang jadi pedagang itulah yang disebut taqdir. Si A dan si B sekarang sadar bahwa taqdir dirinya saat ini adalah dokter dan pedagang. Dengan proses berkelanjutan, masih mungkin ada taqdir lain yang akan menimpa si A dan si B.
Taqdir ( qadar ) bisa jadi sesuatu yang baik namun bisa juga sesuatu yang buruk. Itu sebabnya rukun iman yang keenam adalah beriman kepada qadha qadar baik atau buruk.
Karena itu, beriman kepada Qadha merupakan modal besar menjalani hidup penuh optimisme. Keyakinan akan qadha Allah yang bersifat sangat rahasia, menjadi motivasi untuk senantiasa meraih yang terbaik dalam hidup ini. Karena otoritas kita hanya pada menjalani hidup penuh keyakinan dan kerja keras. Bukan malah bermalas-malasan dengan dalih semuanya sudah ditentukan Allah atau berharap sesuatu yang belum jelas.
Beriman kepada Qadar Allah yang baik ataupun yang buruk menjadi modal utama untuk senantiasa menerima segala apa yang menimpa. Tidak ada yang perlu kita sesali dan membuat putus asa. Karena semuanya tidak lepas dari ketentuan Allah.
Baik buruk dari sesuatu yang menimpa tidak serta merta menjadi ukuran kualitas hidup seseorang dalam pandangan Allah. Justeru sebaliknya, qadar Allah yang menimpa merupakan ujian untuk mengukur sejauh mana keimanan yang dimiliki hambaNya.
Tiada kata menyerah dan putus asa jika orang sudah membekali dirinya dengan beriman pada qadha qadar Allah. Jika baik ia bersyukur dan jika buruk ia bershabar. Sehingga qadar atau lebih populernya taqdir tidak disikapi dengan suudhan ( buruk sangka ). Tidak seperti yang terjadi pada sebagain orang yang karena qadar yang menimpa itu buruk, sampai menganggap qadar itu kejam, tidak adil atau lain sebagainya.
Selanjutnya hadits ini memuat uraian tambahan tentang taqdir. Sangat mungkin seseorang melakukan amalan ahli surga dan dengan amal itu telah mendekatkan ia ke surga sampai kurang dari satu hasta.
Hanya saja taqdir yang telah ditetapkan bagi dirinya di akhir masa hayatnya adalah perbuatan ahli neraka, maka jadilah ia penghuni neraka. Ketetapan taqdir baginya menjadi ahli neraka jangan difahami sebagai otorisasi atau pemaksaan Allah sepenuhnya ibarat sebuah wayang yang gerakannya diatur sama dalang. Orang masuk surga dan neraka semata-mata adalah kehendak Allah. Sehingga untuk apa beramal, bukankah kita menjadi penghuni surge atau neraka atas kehendak Allah? Sama sekali tidak demikian.
Pernyataan dalam hadits ini tentang penghuni surga dan neraka semata untuk mengingatkan bahwa sangat mungkin orang yang telah sekian lama berada dalam jalur “surga” hanya karena keteledorannya dalam sekejap ia berubah menjadi ahli neraka. Dan jangan pula berputus asa akan rahmat dan magfiroh Allah, sejauh manapun ia berdosa, kalau bisa menggunakan kesempatan walau sesaat untuk bertobat sebelum menjemput maut, ia berpeluang sangat besar menjadi ahli surga.
Jika hadits ini difahami sebagai gambaran kehidupan manusia yang tak ubahnya seperti wayang dengan dalangnya atau seperti pemeran film dengan suteradaranya sampai tidak perlu untuk beramal, lantas untuk apakah Allah sendiri menyuruh hambaNya beramal?
Mari kita ingatkan diri kita sendiri, bahwa taqdir ( qadha dan qadar ) semuanya rahasia Allah. Manusia yang diciptakan Allah hanya diperintah beriman kepadaNya, melaksanakan segala perintahNya dan menjauhi semua laranganNya. Berikhtiar mencari kualitas hidup sebaik mungkin sesuai dengan kemampuan yang diberikan Allah kepada kita. Dan yang paling penting lagi, berdo’alah agar taqdir yang mengiringi kita sebaik yang kita inginkan. Karena Allah Maha Kuasa atas segala perkara, termasuk perkara taqdir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar